Monday, April 14, 2014

Harta Karun Sarang Walet di Kawasan Karst Sangkulitang Mangkalihat, Kalimantan Timur

Harta Karun Sarang Walet di Kawasan Karst Sangkulitang Mangkalihat, Kalimantan Timur
nature.or.id

Hutan belantara, gua-gua karst di Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi habitat terbaik bagi burung walet untuk membuat sarang. Eksploitasi berlebihan dan kerusakan ekosistem menjadi ancaman bagi kelestarian si penghasil 'liur emas'.

Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat yang membentang dari Kabupaten Berau hingga Kutai Timur, Kaltim disebut-sebut paling produktif menghasilkan sarang burung walet, bahkan mencapai 80% dari produksi di seluruh dunia. 

Gua Kulat dan Gua Ranggasan di Kabupaten Berau misalnya, masih sanggup menghasilkan 1 ton sarang walet dalam periode panen 40 hari atau 6 kali panen.

"Saya kurang paham kondisinya sekarang, tapi yang saya tahu gua-gua karst di Kalimantan Timur hingga Serawak di Malaysia memang menjadi habitat yang sangat baik untuk burung walet," kata Prof Ani Mardiastuti, peneliti burung dari Institut Pertanian Bogor (IPB) kepada detikFinance, pekan lalu.

Menurut Prof Ani, sedikitnya ada 2 faktor utama yang menjadi ancaman bagi kelestarian produksi sarang walet di kawasan karst. Pertama, eksploitasi (panen) yang berlebihan. 

Walet umumnya memiliki siklus selama 120 hari sejak membuat sarang hingga bertelur. Kegiatan panen sarang sebelum telur menetas akan mengganggu perkembangbiakan walet. Apalagi, walet sarang hitam (Collocalia maxima) yang paling banyak menghuni gua-gua kawasan ini hanya meletakkan 1 telur di setiap sarang. Artinya, pertumbuhan populasinya relatif lambat.

Faktor berikutnya adalah kelestarian habitat, dalam hal ini gua karst dan ekosistem di sekelilingnya. Diperkirakan ada 45 juta walet yang menghuni kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat, dan dibutuhkan sekitar 5 ton serangga perhari untuk bisa memproduksi sarang yang berkualitas. Kebutuhan tersebut hanya bisa dipenuhi dari ekosistem hutan hujan tropis yang heterogen.

Tambang gamping untuk berbagai keperluan, termasuk industri semen, juga menjadi ancaman bagi kelestarian habitat walet. Bukan hanya habitat walet di kawasan yang ditambang, melainkan juga kawasan lain di sekitarnya.

"Untuk mengambil gamping kan biasanya pakai bom. Getarannya bisa mengusik walet hingga beberapa kilometer di sekitarnya," kata Prof Ani.

Kelestarian habitat walet di kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat juga mendapat perhatian pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Untuk menghindari kerusakan ekosistem, zona-zona pemanfaatan karst telah ditetapkan dalam Pergub Nomor 67/2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Karst Sangkulirang-Mangkalihat.

"Itu menjadi salah satu alasan bentang alam karst harus dilindungi. Jadi bukan cuma dipertahankan lalu tidak ada hasil. Salah satu hasil yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, ya sarang walet itu," kata Ir Syahrir, Kasubdit Pengendalian Kerusakan Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Timur.

Sistem Perniagaan Tradisional

Sejak terjadinya kebakaran hutan yang sangat besar di tahun 1997, tinggal kawasan karst di Kabupaten Berau saja yang mampu menghasilkan sarang walet dalam hitungan ton. Sisanya mengalami kerusakan ekosistem yang berdampak pada menurunnya produksi sarang walet.

Namun sistem perdagangan sarang walet yang telah dijalankan oleh masyarakat adat secara turun temurun masih berlangsung hingga sekarang. Salah satunya bisa ditemui di Desa Sepaso, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur. 

Tata niaga sarang walet tradisional di wilayah ini mengenal istilah peremes, yakni orang-orang terpilih yang dipercaya sebagai pemetik sarang walet di tebing-tebing cadas. Menurut mitos, orang-orang ini punya nyawa cadangan dan dilindungi roh gaib.

Para peremes hanya menjelajahi gua-gua di wilayah yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan adat, dan di setiap gua ada penjaganya. Dikutip dari buku Sangkulirang nan Eksotis yang disusun Pindi Setiawan dari ITB, sanksi bagi yang memasuki gua tanpa izin cukup sederhana, yakni ditembak!

Hampir semua desa yang berada di sekitar kawasan karst punya tradisi memetik sarang walet dan memanen madu hutan. Umumnya mereka memanjat gua-gua di tebing cadas berketinggian hingga ratusan meter hanya dengan peralatan tradisional, yakni tali rotan. Untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan, penggunaan alat panjat tebing modern memang dibatasi.

detikfinance.com

0 komentar:

Post a Comment