Tragedi Everest, Kemungkinan Akibat Perubahan Iklim
spdi.eu |
Sudah lama kekhawatiran timbul di Himalaya. Pemanasan global disebut-sebut telah mempengaruhi alam di pegunungan tertinggi di dunia tersebut. Masalah iklim inilah yang dituding berada di balik tragedi runtuhnya salju yang menewaskan 13 orang dan tiga orang lainnya hilang di Everest, pada 18 April lalu.
Pendaki dan Sherpa sudah lama menyerukan bahwa perubahan iklim diduga telah mengubah kondisi alam di sepanjang rute pendakian ke puncak. Jalurnya disebut semakin berbahaya dari sebelumnya.
Perhatian terhadap cairnya salju dan lapisan es di Himalaya sudah muncul sejak empat tahun lalu, setelah munculnya laporan Intergovernmental Panel on Climate Change. Panel ini memprediksi bahwa rantai gletser di pegunungan besar itu bakal hilang pada 2035.
Riset lain yang dipublikasikan oleh International Centre for Integrated Mountain Development di Kathmandu pada tahun lalu menyimpulkan bahwa gletser di Nepal telah turun 21 persen selama tiga dekade terakhir.
Sementara studi di sisi Tibet oleh Akademi Ilmu Pengetahuan China telah melaporkan bahwa gletser di Everest turun 10 persen dalam 40 tahun terakhir.
Apa Sherpa, seorang Sherpa yang memegang rekor 21 kali mencapai puncak Everest, juga sudah lama memperingatkan efek itu. “Pada 1989, ketika saya pertama kali mendaki Everest, ada banyak salju dan es, tapi sekarang kebanyakan telah kelihatan batunya,” katanya, pada dua tahun lalu.
Dampaknya, pendaki harus menghadapi bahaya runtuhnya bebatuan. Pendakian pun semakin sulit dan membahayakan sebab pendaki harus memakai sepatu berpaku-paku yang fungsinya untuk menapak di permukaan es, tapi dipakai di batu telanjang.
Pria 53 tahun yang dijuluki “Super Sherpa” ini mengatakan bahwa berbagai masalah sudah muncul akibat perubahan iklim akhir-akhir ini. Cairnya es meningkatkan risiko. Begitu juga bahaya runtuhnya lapisan es dan salju.
Samantha Larson, seorang pendaki yang berada di Everest saat tragedi di Khumbu Icefall terjadi pada 18 April lalu, mengatakan salju dan es itu ibarat lem yang merekatkan rute. Ketika perekat ini mencair, maka segala sesuatu akan terpisah.
“Apakah akan ada hari di mana perubahan iklim membuat gunung ini tak bisa didaki lagi? Saya kira hari-hari itu sudah datang,” kata Larson kepada Telegraph.
Pendaki dan Sherpa sudah lama menyerukan bahwa perubahan iklim diduga telah mengubah kondisi alam di sepanjang rute pendakian ke puncak. Jalurnya disebut semakin berbahaya dari sebelumnya.
Perhatian terhadap cairnya salju dan lapisan es di Himalaya sudah muncul sejak empat tahun lalu, setelah munculnya laporan Intergovernmental Panel on Climate Change. Panel ini memprediksi bahwa rantai gletser di pegunungan besar itu bakal hilang pada 2035.
Riset lain yang dipublikasikan oleh International Centre for Integrated Mountain Development di Kathmandu pada tahun lalu menyimpulkan bahwa gletser di Nepal telah turun 21 persen selama tiga dekade terakhir.
Sementara studi di sisi Tibet oleh Akademi Ilmu Pengetahuan China telah melaporkan bahwa gletser di Everest turun 10 persen dalam 40 tahun terakhir.
Apa Sherpa, seorang Sherpa yang memegang rekor 21 kali mencapai puncak Everest, juga sudah lama memperingatkan efek itu. “Pada 1989, ketika saya pertama kali mendaki Everest, ada banyak salju dan es, tapi sekarang kebanyakan telah kelihatan batunya,” katanya, pada dua tahun lalu.
Dampaknya, pendaki harus menghadapi bahaya runtuhnya bebatuan. Pendakian pun semakin sulit dan membahayakan sebab pendaki harus memakai sepatu berpaku-paku yang fungsinya untuk menapak di permukaan es, tapi dipakai di batu telanjang.
Pria 53 tahun yang dijuluki “Super Sherpa” ini mengatakan bahwa berbagai masalah sudah muncul akibat perubahan iklim akhir-akhir ini. Cairnya es meningkatkan risiko. Begitu juga bahaya runtuhnya lapisan es dan salju.
Samantha Larson, seorang pendaki yang berada di Everest saat tragedi di Khumbu Icefall terjadi pada 18 April lalu, mengatakan salju dan es itu ibarat lem yang merekatkan rute. Ketika perekat ini mencair, maka segala sesuatu akan terpisah.
“Apakah akan ada hari di mana perubahan iklim membuat gunung ini tak bisa didaki lagi? Saya kira hari-hari itu sudah datang,” kata Larson kepada Telegraph.
Sumber berita DetikFinance
0 komentar:
Post a Comment