Sepenggal Kisah Pejuang Pembela Kemerdekaan
DJAM 6.30 seketika didengar selompret-bangoen.
Mereka bangoen melontjat dengan serentak. Sambil mandi dengan air
dingin, tiap-tiap mereka berdjandji didalam hatinja masing-masing: ...
Hari inipoen akoe berdjoeang koeat. Setelah bersembahjang soeboeh di
soerao, laloe mereka bersantap. Sembahjang 5 kali sehari tetap
dilakoekan oleh mereka. Djam 8.00 berbaris oentoek Tenko (apel).
Menghormati djaoeh kearah Istana Tokyo dalam soesana chidmat
membangkitkan semangat perdjoeangan oentoek menghantjoer-leboerkan
moesoeh.”
Itulah sepenggal cerita berjudul ”Moelai Pagi
Sampai Malam” pada poster reproduksi halaman majalah Djawa Baroe 1944,
koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, kenangan dari Indroyono
S/Sesmenko Kesra, dan reproduksi dari koleksi Museum Pembela Tanah Air
Bogor.
Itu satu dari 20 poster reproduksi yang menceritakan
perjalanan laskar PETA yang dipamerkan di Terowongan Jalan Raya
Pajajaran, Kota Bogor, Jumat (15/8/2014). Selain poster reproduksi
majalah, ada dua lukisan yang mengisahkan suasana perang kemerdekaan di
Bogor. Ada juga poster reproduksi lukisan suasana pembentukan Badan
Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI.
Poster itu bercerita tentang
para prajurit PETA tengah memperbaiki tank tempur, suasana hari besar
PETA, upacara PETA yang dipimpin oleh Saiko Shikikan (perwira tinggi
Jepang), kedatangan Presiden Soekarno di Bogor, serta defile dan parade
prajurit PETA.
Markas PETA kini menjadi Museum PETA dan Pusat
Pendidikan Zeni AD di Jalan Jenderal Soedirman, Kota Bogor, dengan ujung
selatan adalah gerbang Istana Bogor dan ujung utara adalah Simpang Air
Mancur (dulu tugu triangulasi topografi).
Kalimat-kalimat dalam
poster itu masih ejaan lama. Misalnya, ”Madjoelah tentera Pembela Tanah
Air kita. Sifat prawira pada para pemimpin tentara Pembela Tanah Air
jang soedah bangkit dengan memikoel kewadjiban berat: membela Tanah
Air”.
Dari dua kalimat itu ditemukan kemungkinan salah tik atau
penyempurnaan. Ada kata ’tentera’ dan ’tentara’. Selain itu, ditemukan
kata ’Perdjoerit PETA’ yang maksudnya tentu prajurit.
Membaca
tulisan Djawa Baroe yang direproduksi ke poster itu menjadi keasyikan
tersendiri bagi pejalan yang kebetulan melintas terowongan yang
menghubungkan trotoar depan Kampus Baranangsiang Institut Pertanian
Bogor dan trotoar depan Gerbang Timur Kebun Raya Bogor (KRB). Yang
penasaran berhenti untuk membaca kisah-kisah PETA. Hati pembaca sedang
digugah bahwa Kota Bogor punya peran cukup penting dalam perjuangan
kemerdekaan.
Poster-poster itu dipamerkan untuk memeriahkan
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pameran berlangsung
sebulan. Pameran juga bertujuan kampanye kepada masyarakat agar
menyeberang lewat prasarana resmi terowongan, jembatan, dan pelintasan
(zebra cross). Sebelum pameran poster, terowongan itu dipenuhi deretan
lukisan karya budayawan Bogor. Tujuannya, menjadikan prasarana
penyeberangan menjadi galeri dan ruang publik yang nyaman dan aman.
Lorong
itu memang belum seindah, semegah, dan semewah stasiun metro
Komsomolskaya di Moskwa yang didirikan pada 1935, berukir, berpanel, dan
berlukisan kisah kemerdekaan rakyat Rusia dari sistem monarki.
Di
pintu masuk terowongan diletakkan dua tong sampah berbahan plastik.
Yang hijau untuk sampah organik, yang jingga untuk sampah anorganik.
Gerbang
terowongan dibuka pukul 07.00 dan ditutup pukul 22.00. Sekeliling
terowongan diletakkan pot bunga. Dinding yang saat bulan puasa
berkali-kali dicorat-coret itu telah dibersihkan dan ditutupi dengan
taman vertikal. Menjelang 17 Agustus 2014, dinding terowongan juga
dihias dengan bendera Merah-Putih.
Terowongan didirikan pada 2011
dengan dana Rp 3 miliar oleh pemerintah pusat. Terowongan dibuat untuk
penyeberangan, terutama pengunjung KRB dengan asumsi bus dan kendaraan
pengunjung parkir di areal Botani Square. Dari pusat belanja ini, orang
bisa berjalan lewat terowongan dan masuk ke KRB dari gerbang timur.
Namun,
dalam perjalanannya, terowongan ini tidak berfungsi maksimal. Prasarana
tidak dijaga dan tidak dirawat. Akibatnya, terowongan sering menjadi
tempat orang buang hajat, bahkan tempat kejahatan. Prasarana ini sering
bau pesing, kumuh, jorok, dan ditemukan banyak kondom bekas. Kamera
pemantau yang terpasang pun telah rusak. Terowongan akhirnya pernah
ditutup.
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto yang dilantik pada 7
April 2014 ditantang warga untuk mengembalikan fungsi terowongan itu.
Tantangan dijawab dengan perbaikan. Pelat seng diganti dan dilas,
pelbagai coretan ditimpa dengan cat, listrik dinyalakan, lorong
dipercantik dan dipasangi lukisan, serta pemasangan kamera pemantau.
Terowongan
dikelola bersama oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata (DKP), serta Satuan Polisi Pamong Praja. DKP bertugas
merawat terowongan, tanaman, tempat sampah, dan trotoar di sekitar
prasarana. Disbudpar bertugas mengelola galeri dan mengupayakan atraksi
seni budaya secara rutin, terutama pada akhir pekan dan hari libur.
Satpol PP bertugas menjaga terowongan untuk mencegah prasarana ini
kembali menjadi tidak keruan seperti sebelumnya.
Sumber berita Kompas.com
0 komentar:
Post a Comment