Monday, March 9, 2015

Cerita Studi ke Belanda Dengan Membawa Keluarga

 Cerita Studi ke Belanda Dengan Membawa Keluarga
 

bangkudepan.com

Sabar dan ulet. Dua hal itulah yang menjadi kata kunci Lucky F Lumingkewas bisa berhasil membawa isteri dan tiga anak untuk ikut menemani studinya di Belanda.

Lucky adalah satu dari ratusan mahasiswa S-2 peraih beasiswa StuNed atau Studeren in Nederland (Studi di Belanda) yang saat ini tengah menuntut ilmu di Negeri Kincir Angin itu. Sejak September 2014 lalu, mahasiswa Master in Development Studies di Institute of Social Studies (ISS) of Erasmus University Rotterdam (EUR), Den Haag, Belanda, itu berangkat ke Belanda untuk menuntut ilmu.

Lucky mengaku, awalnya ragu-ragu bisa membawa keluarganya. Ia lalu mencari informasi ke sana-kemari, termasuk langsung ke kampusnya.

"Sebelum berangkat, awalnya saya tanya dulu ke pihak kampus (ISS), apakah memungkinkan membawa anak. Ternyata, menurut mereka sangat memungkinkan. Akhirnya saya diskusikan dengan isteri, dai setujut," tutur Lucky kepada KOMPAS.com usai acara "StuNed Day 2015" di Kantor KBRI di Den Haag, Sabtu (7/3/2015).

Namun, jalannya tak semulus yang dikira. Lucky mengaku, persyaratan paling merepotkan adalah soal administrasi, terutama syarat mendapatkan visa MVV (Machtiging tot Voorlopig Verblijf) atau Izin Tinggal Sementara. Menurut dia, banyak student sulit membawa keluarga karena terkendala urusan MVV itu.

"Saya beruntung sekali, karena ternyata kampus ISS punya kerjasama dengan pengurusan MVV. Puji syukur, hanya dua minggu diurus, visa saya keluar untuk isteri dan tiga anak. Ternyata semua diurus sendiri oleh kampus," kata Lucky.

Selain visa, kendala lain adalah keuangan. Ia mengaku mengkalkulasi anggaran untuk isteri dan tiga anaknya selama 16 bulan masa studinya di Belanda. Ternyata, urusan keuangan ini pun tidak mudah.

"Saya minta surat dari bank di Indonesia sebagai bukti tanggungan isteri dan anak, lalu saya kirim ke kampus. Lagi-lagi kampus mau membantu untuk mengurusnya. Ternyata, menurut teman-teman lain, tak semua kampus mau mengurus hal-hal seperti ini. Saya beruntung," tuturnya.

Urusan duit

Lucky mengakui, bukan mustahil mahasiswa yang sudah berkeluarga bisa membawa keluarganya untuk ikut studi di Belanda. Tahap pertama, cari informasi sebanyak-banyaknya untuk mewujudkan kemungkinan itu, termasuk ke pihak kampus.

"Saya apply dulu urusan akademik ke kampus, baru kemudian berpikir bawa keluarga. Bahkan, untuk urusan asuransi isteri dan anak-anak juga diurus oleh ISS. Mereka tutupi dulu semua biaya asuransi itu, baru kemudian dipotong per bulan dari beasiswa yang saya dapatkan di StuNed," kata Lucky.

Namun, dengan membawa keluarga, Lucky tak bisa menetap di dormitori atau asrama mahasiswa ISS. Ia harus mencari sendiri tempat tinggal untuk dia dan keluarganya. Urusan ini pun dia lakukan sebelum tiba di Belanda.

Lucky menuturkan, begitu tahu bisa membawa keluarga, ia lantas mencari apartemen sewa untuk keluarganya. Dari delapan apartemen yang direferensikan pihak kampus, ia mendapat dua yang cocok. Sayangnya, urusan "fulus"masih juga menghadang.

"Rata-rata, pemilik apartemen tidak mau begitu saja percaya kalau untuk kebutuhan mahasiswa. Jadi, saya diminta depositkan dulu sejumlah uang. Saya tidak mau. Jadi, satu-satunya jalan, dua minggu sebelum masa studi dimulai, saya berangkat ke Belanda dan mengurus apartemen ini. Bersyukur semuanya lancar," katanya.

"Sebagai saran, mereka tak mau percaya begitu saja surat yang kita bawa dari bank di Indonesia. Mereka minta jaminan adakah orang Belanda yang bisa menjamin saya selama di sini. Beruntung lagi, saya punya teman yang bisa mengatasi kendala itu," tambahnya.

Akhirnya, dengan anggaran 850 Euro per bulan, Lucky dan keluarganya bisa menempati apartemen pilihannya. Kuliah nyaman, hidup bersama keluarganya pun kini terasa tenang.

Sangat hemat

Hemat dan cermat. Begitulah trik Lucky bisa tetap survive menetap sementara untuk menuntaskan studi S-2 di Belanda. Jauhkan hura-hura, lanjut dia, dan semua pengeluaran dicatat serta diperhitungkan dengan baik.

"Semua bon dikumpulkan kalau belanja dan dicatat. Dengan cara itu kami bisa tahu selisih uang belanja setiap bulan itu ada di mana. Kalau bisa hidup hemat, biaya hidup di Den Haag dan Jakarta sepertinya sama saja," ujar Lucky.

Lagi-lagi, Lucky meraih keberuntungan. Ia berhasil mendapatkan public school, yaitu sekolah negeri yang dibiayai oleh Pemerintah Belanda alias sekolah gratis, untuk ketiga anaknya. Anak pertamanya (9 tahun) duduk di kelas tiga sekolah dasar, anak kedua di taman kanak-kanak, dan yang ketiga duduk di bangku play group.

"Saran saja, kalau mau bawa anak-anak, pastikan dulu sekolahnya sejak sebelum berangkat ke sini. Pilihannya dua, sekolah negeri dari pemerintah sini atau Sekolah Indonesia Nederland (SIN)-Wassenaar di Den Haag yang didirikan dan diselenggarakan untuk anak masyarakat Indonesia di Belanda," ujar Lucky.

"Itu harus cepat-cepat di-booking, kalau tidak pasti tidak kebagian. Satu kelas hanya sepuluh murid dan disubsidi pemerintah sehingga harus dipastikan supaya masuk datanya. Kasihan kalau tidak sekolah hanya gara-gara kita telat mengurus, bisa tidak sekolah anak-anak di sini," tambahnya.

Lucky mengakui, seperti namanya yang berarti "beruntung", memang banyak keberuntungan ia dapatkan hingga bisa seperti saat ini. Tak lelah mencari informasi dan membuka network seluas-luasnya membuat keberuntungan itu semakin membuahkan hasil.

"Semua celah harus dicoba, jangan pernah ragu. Di sini juga harus hidup hemat yang benar-benar hemat. Saya batasi libur atau pelesir jauh yang kira-kira bakal mengeluarkan ongkos besar. Tak perlu gengsi. Kalau tidak, pasti bobol keuangan kami," katanya.


Sumber berita KOMPAS.com

0 komentar:

Post a Comment