Amerika Serikat? Ih.. saya tidak akan pernah mau ke sana, untuk apa mengunjungi negara yang selalu mengkambinghitamkan orang lain. Itulah yang ada di pikiran saya sampai akhirnya harus kesana untuk suatu pekerjaan.
Perlu salat istikharah berkali-kali untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut. Tantangan pertama? Visa, saya berjilbab, tidak suka pada apa yang dilakukan pemerintah AS pada negara lain, dan tabungan kurang dari dari angka Rp 300 juta yang menurut berita adalah batasan minimal. Tapi tidak ada salahnya mencoba.
Langkah pertama pengurusan visa USA adalah pendaftaran DS 160, lewat agen travel atau daftar sendiri, hasilnya akan sama menurut salah satu agen travel yang saya temui di kedutaan. Bacalah informasi di website kedutaan USA Indonesia di situs jakarta.usembassy.gov pilih informasi untuk non immigrant dan baca juga FAQ-nya.
Bagi yang mau mendaftar sendiri, form DS 160 bisa diklik di halaman website yang saya sebutkan di atas dan tidak harus langsung selesai, jadi bisa di-save dulu dan persiapkan lagi data yang kurang kemudian nanti bisa login lagi dan menyelesaikan semua kolom isian, bayar ke bank dan terakhir mendaftar untuk hari dan jam wawancara.
Isi semua pertanyaan di form DS 160 dengan benar dan Anda mendapat satu kali kesempatan untuk mengubah jadwal wawancara yang sudah terdaftar sebelumnya, jika misalnya tiba-tiba Anda berhalangan pergi wawancara. Siapkan semua dokumen yang diminta di website dan dokumen tambahan yang dirasa perlu,
Bagi Anda yang ragu dengan kondisi keuangan, tabungan di angka Rp 50 juta sudah mencukupi. Namun, jangan tiba-tiba seminggu sebelum wawancara dana tabungan anda tiba-tiba membengkak karena pengalaman waktu membantu pengurusan visa turis punya teman-teman, itu bisa dipermasalahkan.
Jika pergi dengan sponsor, data dana yang diberikan oleh sponsor atau tabungan sponsor harus ikut diperlihatkan. Bagi muslimah yang berjilbab mendaftarlah dengan pasfoto berjilbab namun menampakkan telinga.
Pada hari H wawancara visa, saya datang 15-30 menit sebelum jadwal wawancara agar bisa langsung antre dan tidak diusir ke kolong jembatan rel komuter untuk Kedubes AS di Jakarta dan membawa barang yang penting saja agar tidak repot dengan barang yang terpaksa disita sementara, termasuk parfum walau dengan ukuran sample ataupun kunci rumah. Walau ada penitipan tas tapi penyitaan barang terlarang tetap dilakukan.
Kemudian di antrean dalam, jika Anda pergi dengan kelompok dan ada undangan atas nama kelompok tersebut inilah saatnya Anda bergabung dengan teman-teman, buat kelompok kecil antara 2-5 orang, dan beritahukan pada petugas loket yang meminta paspor bahwa Anda adalah teman satu kelompok.
Hal ini juga berlaku bagi rombongan keluarga baik yang berangkat dengan undangan maupun tanpa undangan. Jadi bisa saling mendukung atau bisa juga malah menjadi penyebab kegagalan. Hati-hati dalam memilih teman kelompok.
Setelah menyerahkan paspor dan foto, saya masuk ke area ruang tunggu luar di mana saya punya waktu untuk membeli makanan atau minuman yang tersedia di sana. Setelah itu, ketika nomor kelompok saya dipanggil, kami masuk ke ruang tunggu dalam dan menunggu giliran untuk scan fingerprint dan setelah itu kami pindah ke area tempat duduk untuk wawancara.
Awalnya saya kira akan masuk ke satu ruangan tertutup untuk wawancara, ternyata kita hanya di wawancara di loket-loket dan hal-hal yang dibicarakan terdengar oleh semua orang yang menunggu di ruangan tersebut. Kalau tidak salah ada 7 loket dan ada 2 pewawancara yang terkenal susah memberikan kertas putih yang sangat diharapkan oleh pemohon visa.
Begitu mendengarkan pembicaraan mereka, ternyata benar dua orang itu sangat susah untuk diyakinkan. Mudah-mudahan saya tidak diwawancara oleh salah satu dari mereka berdua. Namun apa daya, saya malah mendapatkan salah satunya. Cukup pesimis karena 5 anggota kelompok saya tidak mengenal satu sama lain.
Pewawancara saya adalah pria berwajah Latin atau Eropa Timur, senyum sih, tapi susah untuk diyakinkan. Setelah mewawancara ibu penyanyi dan keluarganya, komentar yang keluar adalah negatif. Setelah itu giliran saya, dilihat paspor dan diberi beberapa pertanyaan umum. Sejauh ini aman karena saya tidak terjebak dengan pertanyaan mengenai pekerjaan.
Namun ketika tiba giliran memperlihatkan buku tabungan, karena agak ragu dengan nominal tabungan saya yang di bawah 300 juta, saya menjawab, "Saya bawa buku tabungan namun saya pergi dengan biaya dari sponsor dan ini fotokopi deposito sponsor saya."
Nah agak bermasalah deh, si Mas Latin itu langsung bilang ke temannya, rombongan ini benar-benar aneh, ada bapak yang mengaku menemani istrinya, dan anak yang mengaku sebagai manajer ibunya dan sekarang wanita ini tidak mau memperlihatkan buku tabungannya tapi dia punya sponsor. Jawaban temannya adalah tidak usah diloloskan. Mendengar itu sih saya senang juga karena tidak perlu ke AS.
Akhirnya pewawancara saya kembali bertanya tentang sponsor, membolak-balik paspor dan sekarang termasuk paspor lama yang ada student visa Malaysia. Pertanyaan yang muncul adalah, "Kamu kuliah apa di Malaysia?", dan yang sangat menjebak adalah "Which one is better, Indonesia or Malaysia?"
Spontan saya menjawab "Of course Indonesia, can't u see it? People are nicer here." Karena memang itu yang saya rasakan, jadi hal itu terpancar dalam raut muka saya. Mas Latin itu langsung tertawa dan mengangguk dan saat itulah saya tahu saya berhasil meyakinkan dia. Akhirnya anggota terakhir diwawancara.
Nah, lagi-lagi dari berbagai pertanyaan pada orang tersebut akhirnya saya yang menjawab seperti pada 3 anggota rombongan lainnya karena ternyata mereka tidak membaca semua data yang diberikan oleh ketua rombongan. Jadi si Mas Latin malah bertanya masalah rombongan hanya pada saya dan terakhir dia senyum dan bilang selamat liburan sambil menyerahkan si kertas putih.
Keluar dari kedutaan ternyata saya mendapat informasi tidak semua anggota rombongan lolos, padahal mereka sudah membawa deposito pribadi dan orang tua yang jumlahnya pasti jauh di atas angka Rp 300 juta. Dari berbagai pertanyaan dan jawaban yang saya dengar saat menunggu giliran ada beberapa hal yang membuat seseorang gagal.
Pertama yaitu ragu dan tidak jelas dengan tujuannya sendiri. Contohnya ada seseorang yang diterima kuliah di sana namun mengambil jurusan yang berbeda dengan jurusan yang dia ambil di S1. Awalnya reaksi pewawancara sangat positif namun akhirnya dia gagal di pertanyaan apa alasan dia mengambil jurusan yang berbeda. Seingat saya dia mengatakan pindah jurusan karena suka dan ingin mencoba kuliah di jurusan baru tersebut.
Kedua adalah pewawancara tidak yakin bahwa kita akan kembali ke Indonesia. Saya lihat ada yang tidak lolos karena memberi kesan bahwa dia terlalu cinta AS atau negara lain atau memberi kesan bahwa dia tidak suka negaranya sendiri.
Pertanyaan yang saya dapat adalah, "Kenapa kamu tetap mau bekerja di Indonesia sedangkan kamu akan berhasil di Amerika?" Jawaban saya adalah, "Karena saya mau berhasil di sini, dan suatu saat menjual produk saya ke Amerika." Jawaban yang berhasil karena pewawancara saya langsung tersenyum.
Ada juga dosen salah satu universitas negeri yang lama sekali baru bisa meyakinkan pewawancaranya bahwa setelah lulus nanti dia harus kembali ke Indonesia, karena beasiswanya dari pemerintah Indonesia.
Ketiga adalah terlalu banyak bicara, memberikan jawaban yang bertele-tele apalagi mengada-ada. Para pewawancara adalah orang-orang yang sangat terlatih membaca raut muka dan nada bicara seseorang. Di beberapa orang saya lihat malah jawaban yang tidak perlu itu yang membuatnya gagal.
Keempat adalah bersikap baik dan normal, tidak sombong dan jadi diri sendiri. Mau Anda pakai tas Hermes kalau jawaban Anda menyiratkan sikap sombong, selamat kertas merah akan Anda dapatkan. Kebetulan saat saya menunggu wawancara ada yang begitu.
Kata orang, sesuatu yang berhubungan dengan Islam akan dicurigai, menurut saya sih tidak. Jawaban kita dan sikap kita lah yang menentukan. Itu terbukti mulai dari pengurusan visa sampai pengalaman 2 kali ke AS apalagi ketika jalan sendirian, saya selalu disapa ramah bahkan oleh cowok-cowok yang dalam pikiran saya tidak akan menyapa cewek berjilbab.
Namun selalu saja ada yang menyapa, "Hi, how are you, nice day." Bahkan menolong dengan sukarela memberikan kartu TAP-nya ketika saya mencoba naik transportasi umum di Beverly Hills. Yang penting senyum dan bersikap baik, malah ada yang memberi uang receh karena uang receh saya kurang. Transportasi umum di sana jarang yang menyediakan uang kembalian jadi harus sedia uang pas, kecuali transportasi khusus wisata.
Dari pengalaman saya pribadi dan pengalaman orang-orang yang saya bantu pengurusan visanya, sebenarnya yang terpenting adalah perhatikan pertanyaan. Santai saja namun harus mempersiapkan jawaban yang jujur dan bisa meyakinkan petugas wawancara tersebut.
Sumber berita DetikCom
No comments:
Post a Comment